GARENG GUNUNG BUJEL


 

semeru

“Sepertinya kita harus segera bertindak, Tetua.”

“Jangan dulu, kita lihat sejauh mana mereka akan memusuhi kita. Aku berharap mereka masih memiliki hati nurani.”

***

Malam ini, suasana Gunung Bujel begitu mencekam. Bagaimana tidak, beberapa hari terakhir, hujan selalu mengguyur tanah gunung yang mulai rapuh. Gunung Bujel merupakan nama sebuah hutan Pinus di sebuah pelosok desa yang ada di Jawa Tengah. Diberi nama demikian karena bentuknya yang berbukit menyerupai gunung.

Tanah Gunung Bujel yang dulu begitu padat dan kuat, kini berubah menjadi lembek dan becek. Itu karena ulah para Gareng1 yang selalu datang setiap malam. Seperti malam ini, Gatot beserta teman-temannya datang lagi ke Gunung Bujel.

“Ha…ha…ha, kalau kita rajin seperti ini, kita bisa cepat kaya” kata Gatot kepada teman-temannya.

Sementara itu, dua temannya yang sedang berkutat dengan gergaji hanya bisa tersenyum penuh makna kepuasan. Melihat kedua temannya yang begitu bersemangat, kini gatot mulai serius mengukur batangan-batangan Pinus yang tadi berhasil ditumbangkan.

Deras hujan dan petir yang menggelegar sama sekali tak menghalangi aktifitas Gatot dan teman-temannya. Sepertinya, sekarang Gatot dan teman-temannya sudah bersahabat dengan suasana mencekam di Gunung Bujel.

***

“Tetua, ini tidak bisa dibiarkan lagi. Mereka telah banyak membunuh teman-teman kita” ucap Krucil yang kini mulai berapi-api penuh emosi.

“Sabar dulu Krucil, kita masih ada satu harapan.” Kata Tetua yang merupakan pohon Pinus tertua di Gunung Bujel.

“Apalagi harapan kita Tetua? Para penduduk desa yang dulu melindungi kita, kini mereka hanya terlelap di atas uang suap. Mereka tidak peduli lagi.” Kata Krucil yang semakin berapi-api.

“Bukannya ada yang namanya pemerintah? Mereka pasti akan mengambil tindakan untuk melindungi kita” kata Tetua masih dengan penuh bijaksana.

“Baiklah Tetua, kita tunggu pertolongan dari yang namanya pemerintah itu.” Akhirnya Krucil pun mengalah.

***

Siang ini, beberapa orang berseragam cokelat-cokelat datang berkunjung ke Gunung Bujel. Namun, wajah-wajah mereka tampak biasa saja melihat keadaan hutan yang kini lebih mirip bukit yang hanya ditumbuhi beberapa pohon. Terlihat, pak Bintoro yang merupakan ketua dari orang-orang berseragam cokelat, manggut-manggut menatap pohon Pinus tua yang usianya hampir seratus tahun. Setelah puas memandang pohon Pinus tua, pak Bintoro kembali berkeliling menatap pohon-pohon Pinus lainnya. Tidak lama kemudian, pak Bintoro terlihat memisahkan diri dari rombongan. Sepertinya ada yang ingin disembunyikannya. Benar saja, sepertinya pak Bintoro membicarakan hal penting dengan lawan bicaranya di seberang sana.

***

Malam ini, Gatot dan teman-temannya kembali berulah lagi. Sekarang lebih ganas. Gatot dan komplotannya tidak lagi membawa gergaji manual, melainkan membawa gergaji mesin. Dengan beringas mereka menerjang apapun yang ada di depan mereka. Semak belukar, suara burung hantu di kejauhan, dan kurangnya penerangan, sama sekali tidak menjadi kendala dalam operasi penggarengan malam ini.

“Bukannya kita sudah menebang terlalu banyak?” ucap salah satu teman Gatot.

“Tidak masalah, pak Bintoro, mandor hutan ini sudah memberi kita perintah” dengan tangan yang masih sibuk mengukur batangan kayu, Gatot menjawab sekenanya.

“Tapi, kalau kita seperti ini, hutan ini tidak akan menjadi hutan lagi” timpal teman Gatot lainnya yang terlihat sedikit ragu-ragu.

“Sudahlah, kita kerjakan saja apa yang pak Bintoro perintahkan. Jangan banyak pertanyaan, toh nanti kita juga gajian.” Jawab Gatot yang sedikit mulai kesal.

***

Kini tersisa pohon Pinus tua yang mulai meranggas. Dia terlihat sedih dan layu. Dia hanya terus diam dan bisu, sambil terus meratapi kepergian teman-temanya. Dia juga merindukan Krucil –pohon Rempeyek yang setia tumbuh di sekelilingnya – yang kini telah mati, akibat injakan-injakan kaki manusia-manusia keji.

Kini pohon Pinus di hutan Gunung Bujel sudah bisa dihitung dengan jari. Suasana hutan yang seharusnya hijau, rindang, misterius dan liar kini terganti dengan jejak kaki manusia di mana-mana, dan tanah yang sudah porak poranda. Benar-benar menggenaskan.

***

Tetua masih saja bersedih. Dia terlihat kerontang tanpa harapan. Namun, kini Tetua telah mantap dan sudah memutuskan. Dia telah memtuskan untuk mengorbankan dirinya. Dan kini Tetua telah benar-benar siap menyambut kematiannya.

Dengan khusyuk tetua berdoa. Dia juga memanggil hujan sahabatnya, untuk segera datang mengiringi kematiannya. Tidak berselang lama, hujan yang maha dahsyat mengguyur Gunung Bujel. Pohon-pohon Pinus yang ukurannya belum seberapa tumbang dengan mudahnya. Tanah hutan yang becek dan lembek dengan ringannya menggelontor kebawah mengikuti aliran air hujan. Pohon-pohon, batu-batu, sisa semak belukar, dan derasnya air hujan, kini bercampur  menjadi satu.

***

Keesokan paginya, desa yang berada di bawah Gunung Bujel, rata tertutup dengan tanah. Keadaannya begitu porak poranda. Yang tersisa hanyalah rintihan dan tangisan orang-orang yang meratapi kepergian sanak saudara dan harta benda mereka. Tanpa sedikit pun kesadaran, mereka malah justru menyalahkan alam. Mereka mengutuk dan mencaci maki alam yang telah mengirim tanah longsor pada mereka. Tentu saja, mereka tidak mengingat kekejian apa yang sudah mereka lakukan kepada alam.

by: Riza Indri

1 Gareng : julukan pagi para penebang liar.

One response to “GARENG GUNUNG BUJEL”

Leave a Reply to Josephine Wulur Cancel reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: